Almamater dan Transformasi Kehidupan

thumbnail

Hari Minggu pagi tanggal 4 September lalu, saya ditemani istri berkendara ke Seminari Mertoyudan Magelang untuk menghadiri Misa Pelantikan Ketua Pengurus IASM (Ikatan Alumni Seminari Mertoyudan) yang baru, Mas Markus Budiraharjo, menggantikan Mas Toro yang sudah melayani IASM selama dua periode sebelumnya. 

Tidak begitu banyak tamu yang hadir di acara pelantikan ini, terkesan hanya sederhana namun ada suasana yang hangat diantara para tamu serta ada kesan sakral di Kapel Mertoyudan siang itu. Tetapi yang menarik dari hari Minggu itu bagi saya adalah sharing dari Rm Budi, SJ, Rektor Seminari Mertoyudan yang memberikan sambutan terakhir sebelum beliau mengakhiri misa dengan berkat penutupnya.

Beliau bilang begini di akhir acara persis sebelum berkat penutup..

“Saya itu seringkali heran. Saya mikir.. kenapa ya kok ada orang-orang ‘gila’ dalam tanda kutip. Orang-orang yang mau repot-repot ngurusin alumni, jadi pengurus alumni.”

“Ngapain repot-repot coba??”

“Dalam permenungan saya, akhirnya saya menemukan.. Bahwa ternyata orang-orang ini pernah mengalami sebuah transformasi dalam hidupnya, saat bersekolah dulu”. 

“Seperti yang tadi Mas Markus ceritakan di sambutannya betapa dia mengalami transformasi,”

(sebelumnya Mas Markus sebagai ketua baru yang terpilih dalam sambutannya bercerita betapa dia yang tadinya anak desa pegunungan deket Kutoarjo sana, waktu masuk ke Mertoyudan adalah seorang anak yang amat sangat pemalu,.. bahkan mau nemuin Romo Pamongnya aja gak berani. Tapi beliau mengalami transformasi luar biasa setelah dari Mertoyudan) – catatan : saat ini Mas Markus memiliki gelar akademis S.Pd., M.Ed., Ed.D. lulusan Loyola University Chicago dan Boston University dan mengajar di Universitas Sanata Dharma Jogja.

 

Rm. Budi pun melanjutkan, “Peran almamater (almamater yang dalam bahasa latin artinya adalah ibu, ibu yg menyusui), adalah tempat yang mendampingi anak-anaknya saat bertumbuh. Ya tentu saja gak semua anak-anaknya mengalami transformasi, banyak juga yang enggak sih, tapi mereka-mereka yang bertransformasi ini lah. Mereka ingin berterima kasih, bersyukur, dan membagikan sebagian hidupnya untuk almamaternya sebagai wujud ungkapan rasa syukur.”

 

Ketika mengingat lagi ucapan Rm Budi dan kisah transformatif Mas Markus, saya pun teringat masa saat masih bersekolah di Loyola lebih dari tiga puluh tahun silam. Saya ingat betul perasaan minder saya ketika melihat seragam SMP yang saya kenakan berbeda dengan mayoritas konco-konco jebolan DomSav di hari-hari pertama masa orientasi sebelum kami diperbolehkan pakai baju bebas ala Loyola. Maklum, saya ini lulusan dari SMP Negeri di kota Kudus dan kebetulan kami cuma berlima yang dari Kudus. Istilahnya, saya waktu itu orangnya clingus banget deh (red- clingus = clingak-clinguk isin?). 

 

Waktu POPSILA, jujur aja saya ngeri liat keenam orator, wajah mereka serem-serem (namun belakangan saya tau, rupa-rupanya mereka berhasil bermain watak dengan serius, hahahaa). Ada juga sembilan orang DKKL yang saya kagumi. “Hebat bener ya, cuma bersembilan dari sekian ratus murid yang bisa jadi DKKL,” begitu pikir saya dalam hati.

Setelah lewat dari masa orientasi dan kami mulai bersekolah, dan seperti biasa kegiatan di Loyola itu memang banyak banget. Satu hal yang gak bisa saya lupa adalah saya selalu aja dipilih oleh DKKL untuk ikut jadi panitia di acara-acara yang mereka adakan dan herannya selalu saja masuk jadi sie perlengkapan! 

Tugasnya juga selalu sama, angkat junjung kursi dan segala macam perlengkapan acara (rupanya belakangan sepertinya urusan angkat junjung ini sudah dihandle sama para karyawan, Mas Widi dan konco-konconya).

Konco sekelas saya di kelas 1E yang bernama Mulyo juga selalu jadi tandem saya di seksi perlengkapan. Usut punya usut, kayaknya gara-gara kami berdua jaman itu termasuk yang berbadan besar, dhuwur tur lemu. Hahaha…

“Walah.. mentang-mentang badan kami gede, jadi dikerjain nih,” gumam saya setelah beberapa kali dipilih jadi seksi angkat junjung

Anehnya, kelas dua, saat mulai pemilihan calon DKKL untuk pergantian pengurus, saya pun sempat kaget saat dicalonkan sebagai salah satu wakil dari kelas 2F. Walaupun sejatinya saya masih orang yang clingus, minder, dan gak pede saat itu (mungkin konco-konco sekarang gak percaya, tapi jujur aja dulu saya itu paling takut kalo disuru ngomong di depan, terbukti pernah satu kali disuru maju bu Sri Agung ngerjain soal, pas balik ke bangku yang saya duduki, baju yang saya kenakan basah kuyup kemringet kobyos. Nah sedangkan jadi DKKL itu kan suka gak suka pasti bakal ada tugas ngomong di depan, jadi mencalonkan diri jadi DKKL itu sejatinya seperti menjorokkan diri siap-siap gemeteran karena pasti bakal grogi berat saat ada tugas ngomong di depan). 

Tapi mau nolak juga gak punya keberanian. Apalagi, Wali Kelas saat itu, Pak Sarwanto juga sudah mendukung. 

“Matih aku…,” pengen lari dari kenyataan tapi gak bisa.

Hasilnya? Saya dan Mulyo waktu itu sama-sama terpilih jadi DKKL periode tersebut. 

 

Trus gimana perasaan saya setelah terpilih? 

Dalam hati sih ada rasa bangga sedikit karena akhirnya saya bisa jadi sederet sama orang-orang yang saat orientasi saya kagumi, namun di saat yang bersamaan takutnya setengah mati. Gimana jadinya nanti pas kebagian dapet tugas ngomong di depan?? Kalo angkat junjung kursi sih, saya sudah berpengalaman, tapi jadi DKKL jelas gak punya pengalaman sama sekali. 

 

Ketika mengingat kembali momen terpilihnya saya menjadi DKKL itu, rupanya Loyola sedang memberikan saya ruang untuk bertransformasi. Terbukti pengalaman setahun dipercaya konco-konco itu terus membekas dan mengubah cara pandang saya, terutama cara saya menyikapi tantangan dalam hidup.  

Saya mengalami transformasi. 

Transformasi dari seorang anak minder dan gak pede, menjadi seseorang yang setidaknya berani mencoba. Berani mencoba bukan berarti pasti sukses, tapi setidaknya saya bisa lebih mengenali diri sendiri, berani menghadapi ketakutan-ketakutan saya, dan berani gagal.  

Saya berani karena ada dukungan dari orang-orang yang sudah mempercayai saya. 

Orang lain menilai saya bisa melakukannya, bahkan di saat saya masih meragukan diri saya sendiri. 

Loyola memberi kepercayaan pada saya. Loyola memberi saya kesempatan untuk bertransformasi. 

 

Belajar dari pengalaman itu, sekarang sebagai seorang ayah, saya juga berusaha untuk memberikan kepercayaan pada kedua anak perempuan saya. Saya percaya mereka bisa di saat mereka sendiri masih meragukan diri mereka. Karena saya telah jadi saksi bahwa ‘kepercayaan’ yang kita berikan pada seseorang ternyata bisa berdampak besar dan mentransformasi hidup orang tersebut selamanya.

 

Jika saat ini ada orang-orang yang mempercayai Anda dan memberikan sebuah kesempatan untuk mengemban tugas yang sebelumnya belum pernah Anda lakukan, jangan takut untuk melangkah dan mengambil peran. Sebab, bisa jadi itu adalah sinyal kepercayaan dari seseorang yang sedang ditransfer ke diri Anda. Berikan diri Anda kesempatan untuk bertransformasi.

Percayalah, Tuhan punya rencana yang belum Anda ketahui.  

Saya rindu organisasi KEKL bisa menjadi wadah bagi seluruh Konco-Konco untuk membagikan ‘kepercayaan’ bagi sesama dan ‘ruang’ bagi setiap dari kita untuk bertransformasi menjadi MAGIS !

(catatan – Magis : don’t stop at good, be better)

 

Vidion Widyantara

Writer
Humas KEKL
Date Published
21 Sep 2022
Category
Profil KEKL